ARTIKEL

Kamis, 20 Maret 2008

PAKET HEMAT ala NEGERI CINA

Beberapa koran terbitan lokal maupun nasional, minggu-minggu ini memberitakan tentang membanjirnya produk-produk Cina ke Indonesia. Diberitakan pula imbas produk tersebut terhadap keberlangsungan produksi dalam negeri yang tidak kuat menyaingi murah meriahnya harga dari produk-produk Cina tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Satu tahun yang lalu ada seminar Periklanan di Jakarta bertemakan “Why Thai?” yang mengupas banyak tentang dunia periklanan Thailand yang merajai Adfest (ajang periklanan Asia Pasifik). Didalam seminar tersebut terungkap suatu gambaran mengapa orang ikllan Thailand selalu unggul adalah pengelolaan ide kreatif mereka yang berangkat dari nilai lokal, mereka menghargai budaya mereka sendiri sebagai bahan pengendalian ide. Eksekusi dengan perangkat teknologi adalah “hanya” sebagai alat untuk mengungkapkan ide mereka. Betapa mereka menggunakan teknologi hanya sekedar menyempurnakan ide mereka, sehingga apa yang dihasilkan adalah asli konsep dari brilyannya otak-otak orang Thailand.
Terus apa hubungannya dengan barang-barang import buatan Cina yang menyerbu Indonesia? Ada benang merah yang sama dengan pernyataan diatas yaitu kebiasaan (habit) kita kurang menghargai apa yang dihasilkan oleh negeri ini. Barang tersebut hadir karena Indonesia hanya berpikir secara jumlah bukan loyalitas. Apakah konsumen di Indonesia salah ketika memilih barang Cina sebagai pilihannya? Siapa bilang salah! Konsumen kita adalah masyarakat kebanyakan yang susah untuk cari uang, sehingga mereka berpikir kuantitas atas uang yang dikeluarkan. Kebiasaan masyarakat banyak dihasilkan dari suatu bentuk kebudayaan yang memang tidak berpihak pada produk buatan sendiri. Mengapa sih beras import dari Viertnam bisa masuk ke negeri ini? Mengapa sih kayu yang belum diolah, bisa kita eksport ke negara lain? Mengapa sih kita menggunakan tenaga asing sebagai konsultan daripada SDM kita sendiri? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak sadar selalu muncul dari perbincangan kita sehari-hari. Kita menyalahkan pemerintah dari pertanyaan itu.
Kebudayaan memang unsur pokoknya adalah kekuasaan politik (dalam hal ini pemerintah), selain dari alat-alat teknologi, sistem ekonomi, dan keluarga, menurut Melville J Herkovitz. Jadi jelas kebijaksanaan yang diatur oleh pemerintah menciptakan habit kita. Kita ingat pada sejarah, Bagaimana Bung Karno tidak sukanya dengan musik ngak-ngik-nguk nya Koes Plus dan masyarakat pun terpengaruh dari pernyataan beliau. Itu lah kekuasaan politik mempengaruhi kebudayaan.
Pemerintah dengan segala kebijaksanaan perekonomiannya yang tidak banyak berpihak dengan para pelaku bisnis lokal, membentuk masyarakat kita untuk tidak menghargai kita sendiri. Kualitas at the right price, kata Rhenald Kasali dalam bukunya Membidik Pasar Indonesia. Kebijakasanaan menaikkan TDL Listrik, menaikkan BBM tiap ada kenaikkan harga minyak dunia, Pajak yang mengikat, Kuota import yang bebas takut dengan aturan WTO, Bunga Kredit untuk UKM yang tinggi, dan banyak hal lagi. Dari segala kebijaksanaan itu akhirnya pengusaha mengambil kebijaksanaan dengan membanting keras-keras mutu produk mereka dan menaikkan harga jual produk karena mahalnya bahan baku yang mereka peroleh. Jadi apa salah akhirnya ketika masyarakat kita, Produk Cina banget!
Dalam Perilaku konsumen, barang-barang buatan Cina telah memenuhi atau mewakili hasrat konsumen yang tidak terpenuhi. Dengan beberapa rupiah masyarakat kita dapat membeli apa yang dibutuhkan, dan pergilah jauh-jauh dengan mutu. Harga menjadi sangat sesnsitif dalam perekonomian yang tidak sehat ini. Harga Pahe dari produk Cina mengena di pasar konsumen Indonesia. Secara teori dilihat dari konsep Strategi Marketing, produk Cina berhasil melakukan kegiatan 4P-nya : Produk yang banyak variasinya dan hampir mirip dengan buatan Eropa atau Amerika yang mahal bahkan produk lokal sendiri, Price atau harga yang terjangkau oleh konsumen kita, Promosi yang secara tidak langsung didukung oleh budaya kita sendiri yang menganjarkan kita harus berguru pada negeri Cina dengan kebudayaan dan ilmu pengetahuan mereka, ketika kita bertemu dengan produk Cina secara yakin, kita yakini bahwa produk mereka bagus. Dan Place atau tempat distribusi yang tepat pada keadaan perekonomian kita yang sangat menghargai rupiah demi rupiah, mereka hadir di masyarakat yang membutuhkan produk –produk murah untuk pemenuhan kebutuhannya.
Jadi, ketika barang-barang pahe produk Cina sudah membanjir di Indonesia, apakah mungkin untuk mengembalikan produk lokal sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat Indonesia, jawabannya sangat mungkin. Menurut John Dewey, dalam suatu proses keputusan konsumen untuk membeli barang kebutuhannya, nilai-nilai rasional muncul dalam benak konsumen dan memanfaatkan secara sistematis informasi yang tersedia mengenai produk tersebut. Dalam beberapa contoh, produk Cina yang pada awalnya berjaya kemudian secara perlahan terpuruk adalah produk otomotif : motor. Ketika pertama kali motor Cina masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat terjangkau, banyak masyarakat Indonesia mengidolakan produk ini sebagai pemenuhan kebutuhannya, tetapi secara pasti mereka tahu produk murah bukan berarti memuaskan. Dari sparepart yang susah dicari, tempat servis yang tidak ada, apalagi service after salesnya. Alhasil produk tersebut, tahun kebelakang ini dijauhi konsumen, para konsumen “kembali ke selera asal”
Kembali ke pernyataan John Dewey dalam bukunya How we think, konsumen akan mempersepsikan perbedaan antara keadaan yang diinginkan. Produk Cina tetap Produk Cina, produk yang dihasilkan seringkali hanya memuaskan dalam waktu tertentu saja, karena cepatnya kerusakan produk tersebut ketika digunakan. Konsumen akan mencari dan mengolah informasi itu sebagai acuan pemilihannya kembali ketika membeli. Ketika mereka kecewa mereka akan mencari alternatif lain sebagai pemuas kebutuhan.
Kemudian muncul berikutnya pertanyaan, apakah sudah siap produk lokal kita untuk disukai masyarakat/ konsumen Indonesia ketika para konsumen itu kecewa terhadap produk-produk Cina. Jawabannya itu agak sedikit tidak mungkin apabila pengusaha lokal kita sibuk untuk mencari bahan baku yang murah, memecati karyawan agar efisien, ribut dengan pemerintah mengenai UMR, pusing dengan naiknya Tarif Dasar Listrik, dan BBM, berpikir dengan tingginya suku bunga kredit dan banyak hal.
Tentunya, Pemerintah sebagai bagian dari pembentuk Kebudayaan segeralah membuat suatu kebijaksanaan perekonomian yang bersahabat dengan para pengusaha lokal sehingga masyarakat/ konsumen kita loyal kembali terhadap produk buatan sendiri, Aku cinta buatan Indonesia deh!

Tidak ada komentar: