ARTIKEL

Kamis, 20 Maret 2008

NGAYOGYANGIKLANI – “SASI”

Anda orang Jogja asli ? pernah tidak satu kali saja, jalan-jalan dijalan kecil (gang) atau jalan utama di Jogja tanpa sebuah iklan terpampang disudut-sudut jalan? Pasti jawaban anda “tidak pernah”. Tergoda anda untuk memandang jalan seperti anda “walking around”di pedesaan yang tanpa hiruk pikuk iklan. Atau seperti postcard yang diberikan kolega kita, yang memampangkan foto sudut-sudut kota di daerah Eropa ataupun daerah wisata di negara tetangga kita. Keinginan kita untuk rindu pada itu semua memang harus dilupakan untuk waktu yang lama, sadar tidak sadar iklan adalah sumber yang gampang untuk mengeruk dana bagi pemerintah daerah untuk mengenjot pendapatan daerah. Jogja adalah daerah “ter-aman” untuk wisata di Indonesia untuk saat ini.
Dengal label kota budaya Jogja ingin menawarkan sebuah nuansa budaya yang kental terhadap para tamunya. Itu terbukti pada jumlah kunjungan wisatawan yang membludak pada tiap-tiap hari libur nasional. Kenyataan yang ada di Jogja sekarang, ruang publik untuk bersantai bagi wisatawan sudah habis alias tertutup dengan banner, baliho, billboard, inflatables, poster yang bertebaran, leaflet, flagchain, dan bermacam istilah untuk media luar ruang. Semua itu adalah bentuk iklan yang sehari-hari, sadar tidak sadar menjadi santapan di Jogja ini. Untuk berfoto saja tanpa ada background dibelakangnya sepertinya sudah sangat susah dicari di kota kita ini. Apakah Surat Keputusan mengenai penyelenggaraan reklame dan pajak reklame diabaikan? Atau memang merupakan kondisi yang kondusif bagi pengusaha media luar ruang untuk berbisnis dan bersengkongkol dengan aparat pemerintahan daerah. By the way, lokasi tempat iklan, itu kan menentukan target audience.
Iklan dalam era kosmopolit sekarang adalah hal yang harus dilakukan untuk berpromosi, disebabkan konsumen (masyarakat) yang ada sekarang sudah bebas memilih media untuk menjadi perhatian mereka. Iklan luar ruang yang semarak disudut kota Jogja merupakan satu bagian dari strategi komunikasi terpadu tiap produsen sebuah produk, atau dalam bahasa orang iklan “positioning” pasar, semakin terlihat banyak di jalan artinya semakin meresap di mata terus kehati konsumen. Menurut Dr. PH. J. Idenburg, Iklan luar ruang secara sadar membantu distribusi produk hingga sampai ke tangan konsumen, membantu memberikan penerangan kepada konsumen tentang produknya, membantu omzet penjualan dan produksi, memperbesar kecepatan perputaran produk, menstimulasi produsen untuk tetap mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Sehingga kecenderungan yang ada Produsen akan menghabiskan dana Promosinya untuk menghiasi kota dengan sebaran iklannya.
Banyak sudut kota Jogja yang terhiasi dengan iklan yang sudah tidak dapat dikatakan layak dilihat lagi, dari saling tumpang tindihnya antarspanduk, poster yang telah mengelupas karena air hujan dan ditempel asal-asalan, brosur yang selalu beterbangan di tiap-tiap institusi pendidikan dan keramaian, baliho yang tripleknya sudah terbuka pakunya, dan beragam lain yang kita jumpai di kota budaya ini. Apakah itu yang menjadi ciri khas kota budaya. Kemana kreatif media-seniman grafis yang dihasilkan oleh Institut Seni Indonesia yang ada di kota Jogja ini?
Kata kunci untuk membedah itu semua adalah : Kreativitas dan peraturan yang tegas, kreatif media yang terlibat menghias kota dan Pemerintah Daerah mengelola ruang kotanya. Aip Syarifuddin (Ketum AMLI), menegaskan kekurangan kita dengan negara tetangga Australia dan Malaysia adalah Peraturan yang mengatur tentang Iklan luar ruang dan sejenis tidak kondusif dan tidak pasti. Para kretif media seharusnya jangan asal membuat karya saja, tetapi juga terlibat dalam menghiasi kota Jogja, mereka turut menentukan karya hias yang akan dipampangkan di kota jogja ini. Dalam buku Contempary Advertising, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan para kreatif media :
Pergunakan ide-ide cemerlang, terutama untuk bagian judul utama iklan, biasakan dengan hal-hal yang berbau Jogja buktikan dengan berbau kultur Jogja pun bias menjual, karena media luar ruang merupakan suatu seni dalam memadatkan atau menyinkat pesan iklan, pergunakanlah tampilan iklan yang sederhana dan terkonsep, berikan nilai emosi dalam sebuah karya iklan, pergunakan warna yang dapat mengarahkan iklan, lalu yang terakhir ambilah keuntungan dari lokasi yang dipilih tersebut dalam hal ini tanpa mengindahkan kegiatan yang ada dalam lokasi tersebut.
Kenyataan yang ada di Jogja, seringkali agensi lokal hanya berperan sebagai placement saja, sedangkan segi kreativitas sudah diatur dari agensi utama biasanya dari Jakarta. Untuk itu agensi lokal harus berperan banyak dalam perubahan-perubahan Iklan luar ruang, disesuaikan dengan muatan lokal, dirubah dari segi bahasa, penambahan teks, visual, tanpa merubah brand image produk tersebut. Pertanyaanya adalah, bisakah pemerintah daerah mengatur itu semua dan memberikan ruang gerak bagi kreatif media daerah berperan dalam menghiasi kotanya, itu semua kembali kepada para aparatur pemerintahan daerah yang mengurusi itu semua.
Hal kecil menjadi lumrah, itu yang biasanya terjadi di bangsa kita. Kota Jogja yang kental dengan kultur budaya dan indah ditiap sudut kota, apakah akan dibiarkan saja dirusak dengan penataan ruang iklan yang terlihat semrawut. Dulu pada jaman ORBA terkenal dengan kuninggisasi apakah sekarang Jogja juga akan dilindas dengan namanya Ngayogyangiklanisasi hanya karena alasan peningkatan sumber pendapatan daerah.

Tidak ada komentar: