ARTIKEL

Kamis, 20 Maret 2008

Budaya Free Sex Hancurkan Predikat Kota Pelajar

Predikat Kota Pelajar sudah tersandang lama melekat di belakang nama kota Yogyakarta sejak UGM berdiri sebagai universitas negeri tertua di Indonesia, tetapi anehnya tiap tahun terjadi penurunan hampir 30% lulusan SMA yang mengisi bangku-bangku Perguruan Tinggi di kota Yogya.
Ada apa denganmu Yogya? Apakah nasib predikat kota Pelajar yang disandangmu sudah hilang, sehingga para orangtua sudah tak ingin lagi menyekolahkan anak-anak mereka ke Yogya. Padahal, pada musim liburan bisa dilihat betapa padatnya jalan-jalan di Yogya dengan bus-bus wisata yang dicarter para anak sekolah untuk liburan ke Yogya, dan juga banyaknya wisata edukatif anak SMA untuk mengenal Perguruan Tinggi di Yogya, itu semua memperlihatkan betapa besarnya minat pelajar diluar kota Yogya untuk berburu ilmu di kota Yogya, tetapi mengapa APTISI (Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) Yogyakarta memberikan laporan terus berkurangnya minat pelajar menempuh pendidikan di kota Yogya ini, apa yang salah ? Mungkin, bukan mutu pendidikan di Yogyakarta yang menjadi pertimbangan orangtua untuk tidak menyekolahkan putra-putrinya ke Yogya, tetapi kecemasan orangtua tentang lingkungan disekitar kampus dan pergaulan sosial putra-putri mereka nanti di Yogya, dari hal budaya free sex anak kost hingga narkoba masuk kamar kost.
Apabila kita merunut peristiwa yang terjadi di Yogya tiga tahun belakangan ini, persoalan sex bebas menjadi salah satu unsur utama yang menurunkan kualitas Brand image “kota Pelajar”, yang ikut menurunkan jumlah minat calon mahasiswa untuk menuntut ilmu di Yogya. Berangkat dari laporan penelitian Iip Wijayanto dkk (Peneliti muda dari PusBih Yogya) yang menerangkan betapa besarnya jumlah wanita non virgin yang masih berstatus mahasiswa di kota Yogya ini , kemudian Media Massa mem-blow up berita itu besar-besar ke semua mata, telinga konsumennya dan ini menjadi isu nasional. Walaupun dalam perjalanannya penelitian itu masih menjadi pro kontra dari para peneliti senior atas ke-valid-an sampelnya. Tapi, apa bisa dikata ? Berita itu sudah menancap di otak konsumen media massa, seperti yang dikemukakan Mc Luhan, pakar komunikasi Amerika bahwa, “Realitas yang disampaikan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi-realitas tangan kedua (second hand reality)”, Jadi jelas media massa sudah membuat kesimpulan tentang itu semua.
Kemudian, muncul Perda tentang kost-kost-an yang isinya ada aturan tegas untuk tidak adanya kost campur, itu pun menjadi sebuah benang merah ada apa dengan kota Pelajar ini? Tentang Perda ini, mungkin Yogya yang paling giat untuk mengesahkan dan dilaksanakan segera oleh masyarakat. Ini jelas, menjadi sebuah pertimbangan bagi orangtua yang ingin menyekolahkan anak mereka ke Yogya, “Pasti ada apa-apanya nih! Sehingga muncul Perda.” Masyarakat kita sekarang sudah tidak bisa dianggap pasif atau bodoh kok, mereka dapat mem-persepsikan sendiri berita di media massa, dan menyikapinya. Lalu, ditambah berita fenomena dunia malam di Yogya dengan free sex-nya, memunculkan komentar dari Wakil Walikota Yogya Syukri Fadholi SH yang dikutip dari koran mingguan Yogya, beliau prihatin dengan perkembangan kafe dan diskotek. “Kita harus segera tertibkan hiburan malam di kota ini” tegas beliau. Hingga Rendradi Suprihandoko,S.H juga sepakat atas pernyataan itu dan menambahi dengan berpendapat, ”Perkembangan yang terjadi di kafe dan diskotek tak jauh beda dengan merebaknya salon plus dan perjudian yang menyusup jauh ke wilayah pedesaan.” Waduh, sebegitu parahkah kota pelajar ini. Terakhir berita yang dimunculkan koran ini, yang menyimpulkan keprihatinan kita tentang soal sex bebas di Yogya dengan memunculkan headline berita “30 Persen Akta Kelahiran dikeluarkan bagi Orangtua Tunggal” (29 maret 2005) dan data ini dikeluarkan dari sumber resmi yaitu Kantor Badan Kependudukan Keluarga Berencana dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta sepanjang tahun 2004. Anak adalah titipan tuhan, wajar apabila orangtua mencari pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya dan itu adalah keharusan orangtua untuk memberikan sesuatu terbaik bagi anak-anaknya. Apabila kota Yogya bukan lagi menjadi favorit bagi orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya, lalu apa implementasi Yogyakarta menyandang predikat Kota Pelajar? Pertanyaan tersebut harus dijawab bersama oleh para pejabat pemerintahan di kota Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta sendiri dengan lebih care terhadap lingkungan mereka, dan jangan menyepelekan sesuatu yang memang tidak wajar bagi perkembangan sosial kota Yogya. Jangan hanya perhatian menata PKL dengan menghabiskan anggaran Rp 700 juta (anggaran Pemkot Yogya tahun 2005), tetapi juga mencari cara menata-mengembalikan citra kota Pelajar

Tidak ada komentar: