ARTIKEL

Selasa, 10 Juni 2008

Berkarya dengan Nurani


Dalam wacana seni apakah itu seni rupa, seni musik, seni gerak dan cabang seni lain, sering digunakan kata rasa. Rasa adalah daya penggerak dan pewarna tingkah-laku dan kreasi kita. Bila perasaan sedang jernih, pekerjaan akan dilakukan dengan senang hati. Ketika seorang penari beraksi dengan rasa yang mantab dengan penghayatan penuh, maka akan terpancarlah energi atau dinamisme dari tarinya itu, dan akan mempengaruhi pemirsanya. Orang Bali mengatakan bahwa penari itu memancarkan taksu.
Rasa akan sesuatu (kebahagiaan, kepedihan, keterharuan, cinta, ketakutan) disampaikan melalui cara-cara yang berbeda, dengan pengiasan yang beragam seberagam individu-individu dan komunitas-komunitas yang ada. Bahkan dalam satu komunitas pun selalu terdapat kecenderungan-kecenderungan yang bersifat pribadi. Kecenderungan ini sangat tergantung pada bagaimana ia berfikir. Namun demikian perlu dipahami bahwa berfikir itu tidak melulu berpusat di otak, berfikir itu bergulir di keseluruhan tubuh melalui jaringan hormon dan enzim. Sifat kimiawi dari hormon dan enzim itu juga tergantung pada bagaimana kita memandang dan mempersepsi dunia yang melingkupi kita. Tentang ini Deepak Chopra, seorang dokter medis yang mengaplikasikan pula ayurveda dalam menangani pasien-pasiennya, memaparkan via bukunya Quantum Healing tentang bagaimana otak mengubah non-materi (ide-ide, pikiran, atau rasa) menjadi materi yang dalam ini substansi kimiawi yang berupa lapisan lemak atau kelenjar yang mengandung tanda-tanda yang sangat kompleks untuk dibaca oleh otak.[i] Pikiranlah yang selalu sibuk mengartikan segala sesuatu yang dicerap melalui perabaan, penglihatan, pendengaran, penciuman, atau pencecapan.
Salah satu sensuist terbesar sepanjang sejarah manusia modern – sarjana, penulis genius kelahiran akhir abad ke-19 di Alabama USA, Hellen Keller, penderita buta, tuli, dan (akhirnya juga) bisu akibat penyakit keras yang dideritanya di usia dini, berfikir hanya dengan indra perabaan dan pendengaran. Berfikirnya hanya dengan meraba dan membaui.[ii] Bagi dia membau dan meraba sama dengan membaca dan berfikir.[iii] Sebagai contoh, Helen Keller mengatakan bahwa dengan membau seseorang, ia dapat mengungkap jenis ‘pekerjaan’ yang sedang dilakukan. “Bebauan kayu, besi, cat dan obat-obatan yang melekat pada baju seseorang ... Ketika seseorang melintas secara cepat dari satu tempat ke tempat lain, saya mendapat suatu impresi bau tentang dari mana ia datang – apakah dari dapur, taman, atau rumah sakit.”[iv]
Jadi berfikir itu tidak sebagaimana yang sering dibayangkan oleh orang modern, yang dikira hanya berlangsung di dan dengan otak melulu. Dulu, dalam berbagai bahasa di Nusantara orang menggunakan kata rasa untuk menyatakan sesuatu yang banyak orang sekarang menggunakan kata pikir, misalnya orang di Jawa, Bali, dan Sulawesi Utara. Hanya dalam beberapa dekade terakhir sajalah sekarang kata ‘pikir’ mulai dipakai menggantikan kata ‘rasa’. Seperti orang Inggris I think, banyak orang memakai kata pikir. Mitos modernitas secara salah sering mengajarkan bahwa pemahaman dengan pikiran lebih superior daripada rasa.
[i] Deepak Chopra, Quantum Healing, (New York: Bantam Books, 1990).
[ii] Diane Ackerman, A Natural History of Senses, (New York: Vintage, 1991).
[iii] Helen Keller dilahirkan di Alabama, USA, meninggal dalam usia 87 tahun. Karena tuli ia tidak dapat membuat suara yang dapat dimengerti. Itulah yang membuat orang tuanya bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Beruntung mereka mendapat bantuan dari seorang pakar yang telah berhasil mengajar bicara bagi orang yang tuli, pakar itu adalah Alexander graham Bell. Atas saran Bell pulalah orang tua Helen mempekerjakan seorang guru bernama Anne Sullivan, 20 tahun, untuk mengajar Helen. Anne Sullivan juga menderita kebutaan namun membuktikan dirinya sebagai seorang guru yang berbakat. Anne mengajari Helen nama benda-benda dengan cara menekankan huruf-huruf pada tangan Helen. Ia mengajar Helen berbicara dengan cara merasakan vibrasi-vibrasi pada tenggorokan Anne. Ternyata Helen sangat berbakat dan cerdas. Dengan bantuan sekolah-sekolah khusus di New York dan Boston, ia belajar membaca dan menulis dalam huruf Braille. Akhirnya ia memperoleh gelar sarjana, dan ia pada akhirnya dapat membantu banyak orang yang bernasib sama seperti dia. Helen Keller memnjelajar sampai ke beberapa negara memberi kuliah. Ia berkomunikasi – membaca bahasa tanda – dengan tanda-tanda sentuhan jari tangan pada telapak tangan. Ia telah menulis beberapa bku, salah satunya adalah Kisah Hidupnya, yang dipublikasi pada 1902. Dari kisahnya itu dibuatlah sebuah drama yang memperoleh penghargaan, dan difilmkan oleh Willam Gibson pada 1962.
[iv] Ackerman, 23.

Tidak ada komentar: