ARTIKEL

Minggu, 03 Agustus 2008

Ngebangin Konsep Iklan

Apakah yang disebut ‘konsep’ itu? Bisakah ia diraba dan atau digambarkan serta dirasakan? Mengapa ia menjadi begitu penting, sehingga para juri di berbagai lomba kreativitas iklan memberinya porsi hingga 40% untuk bobot ‘konsep’ itu sendiri? Lalu apa bedanya konsep dengan ide?Seorang teman memberikan definisi sebagai berikut: konsep adalah pemikiran menyeluruh mengenai sebuah pemecahan masalah, dan ide hanyalah merupakan salah satu komponen di dalamnya.Saya sendiri memberi definisi bahwa konsep adalah sebuah pemikiran terpadu dan menyeluruh, guna menjuju kepada suatu tujuan tertentu.Apa pun definisi yang anda percaya, namun tentunya lebih penting lagi untuk mengetahui, bagaimanakah cara menyusun suatu konsep? Apa gunanya juga? Kenapa konsep ini menjadi begitu penting?Kemampuan untuk menyusun konsep bagi seorang copywriter biasanya sangat tergantung dari ‘jam terbang’ yang ia miliki, variasi kategori produk yang pernah ia tangani, dan tim seperti apa yang pernah menjadi rekan kerjanya; sebab hal ini akan mempengaruhi cara dia berfikir.Untuk bisa menyusun konsep, maka diperlukan product knowledge serta target audience knowledge yang cukup mendalam. Pengetahuan mengenai karakter kategori produk, plus peta persainganya juga sangat berpengaruh dalam penyusunan konsep. Misalnya, mereka yang pernah memegang account otomotif tentu tahu, bahwa gambar produk harus besar karena market Indonesia sangat terpengaruh oleh model. Karena itu, ia tak akan menghabiskan waktunya untuk membuat materi komunikasi yang di luar batasan-batasan tsb.Untuk menentukan konsep apa yang kuat (baik) bagi suatu segmen masyarakat tertentu, dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang luas, sehingga biasanya perlu bantuan para senior untuk bisa menyusun konsep yang baik.Beberapa agency memiliki criteria tersendiri untuk menilai apakah itu yang disebut dengan konsep yang baik, tapi biasanya konsep yang baik itu memenuhi persyaratan seperti : simple, single minded, unique, relevant, campaignableArtikel sebelumnya, yg berjudul ‘a shortcut to ideas’ mungkin bisa memberi pencerahan, tentang bagaimana cara mudah untuk menyusun suatu konsep iklan. Berikut adalah contoh print ad yg saya bahas dalam artikel tsb: iklan Panadol.

Mau Creative
Untuk menjadi kreatif, otak kita harus mendapat informasi sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. Kita harus menyimak, memperhatikan, mengikuti, apa pun yang sedang terjadi di sekitar kita. Tak perduli apa pun batasanya. Sebab ketika kita menggali ide, kita harus membongkar seluruh isi otak kita, seluruh pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang kita miliki. Nah, kalau kita tak pernah mengisinya, apa yang mau kita gali???Mencari pengetahuan tidaklah perlu memiliki alasan. Saya selalu percaya bahwa setiap pengetahuan – seremeh apa pun itu – suatu saat pastilah akan menjadi sumber ide. Pernah juga suatu kali, seorang AE menjerit ketika menemukan tabloid Nova di mobil saya: “Aduh…! Ngga pantes banget sih mbak Nunu, baca ginian???”So?? Apa salahnya kalau saya ingin mengetahui apa yang disenangi ibu-ibu rumah tangga? Apa yang lagi hot di tengah mereka? Bahasa seperti apa yang mereka gunakan? Logika seperti apa yang mengalir di otak mereka? Iklan apa saja yang dipasang di situ? Bisnis apa yang hot di kalangan mereka? Saya bahkan membaca iklan barisnya! Apa saya memerlukan alasan logis untuk membacanya? Saya hanya ingin tahu. Untuk apa… entahlah. Tapi, suatu saat pasti berguna. Seringkali ketika membantu writer membuat judul, mereka terkejut dan bilang:”wah, kok bisa kepikiran seperti itu ya?” Mungkin, itulah gunanya memenuhi otak dgn segala yang kelihatan ngga penting tadi! Ia tiba-tiba bisa meloncat keluar ketika diperlukan.Seorang writer saya setiap hari selalu membuka situs ads of the world, dan yang lainnya selalu menyimak contoh-contoh iklan yang menang award dari seluruh dunia. Ngga apa juga sih… tapi hal ini membuat saya berfikir… jangan-jangan kita cenderung menjadi plagiator karena kebanyakan referensi iklan? Sehingga otak kita dipenuhi dengan iklan-iklan luar, yang pada akhirnya menjadi sumber ide – karena ia tenggelam jauh di bawah sadar kita – dan melahirkan output yang nyaris sama? Apakah karena itu, sulit sekali bagi kita untuk menjadi original? Dan apakah karena itu pula, copywriter jaman dahulu - yang relative sulit mengakses iklan dari luar- bisa lebih ‘Indonesia’ ketika menciptakan kata-kata? Slogan jadul seperti “Terus Terang, Philips Terang Terus’ … terasa sangat Indonesia, sampai-sampai ngga bisa di inggrisin!

Tidak ada komentar: