ARTIKEL

Jumat, 11 Juli 2008

Iklan dan Rokok


Rokok memang menjadi sumber pendapatan pajak bagi pemerintah Indonesia dan juga sebagai penyumbang penyebab penderita jantung. Rokok sebagai penyebab sebuah penyakit yang kronis jarang sekali disorot, karena nilai sumbangsih materinya sangat besar. Saat ini diperkirakan empat persen rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk mengonsumsi rokok. Pengeluaran yang cukup besar ini sudah pasti akan menurunkan tingkat kesejahteraan keluarga.
Namun begitu, pemerintah juga mendapatkan pemasukan cukai rokok. Pada 2001 pemasukan dari sini sebesar Rp 17,6 triliun, meningkat menjadi Rp 22.3 triliun pada 2002, dan pada 2003 ditargetkan penerimaan dari cukai rokok sebesar Rp 26 triliun. Jumlah target perdapatan cukai dari rokok ini sebenarnya tidak sebanding dengan biaya ekonomis yang harus diemban oleh masyarakat dan negara karena berbagai penyakit akibat rokok. Diperkirakan pada 2002 biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi berbagai penyakit akibat rokok berkisar Rp 90 triliun (Republika, 21 Juni 2005). Ini menggambarkan bahwa sebenarnya pendapatan pemerintah dari cukai rokok sangat kecil dibandingkan kerugian kesehatan dan ekonomis yang harus dikeluarkan akibat menanggulangi dan mengobati penyakit yang muncul akibat merokok. Menurut laporan WHO 2002, di antara negara-negara industri yang menganggap merokok adalah hal umum, merokok diestimasikan 90 persen menyebabkan kanker paru-paru pada pria, dan sekitar 70 persen menyebabkan kanker pada wanita. Di negara-negara industri ini sekitar 56-80 persen adalah penyakit pernafasan kronis dan sekitar 22 persen penyakit kardiovaskular. Di seluruh dunia tembakau dapat menyebabkan sekitar 8,8 persen kematian (4,9 juta) dan sekitar 4,1 persen menyebabkan penyakit (59,1 juta). Jika kecenderungan ini tidak berbalik, maka angka-angka tersebut akan meningkat hingga 10 juta kematian per tahun mulai tahun 2020, atau pada awal 2030, dengan 70 persen kematian terjadi di negara-negara berkembang. Peristiwa semua itu tidak dimunculkan dalam iklan rokok.
Pengusaha rokok sering tutup mata pada anak-anak (usia 6-12 tahun) sebagai konsumen penikmat iklan rokoknya. Padahal, anak-anak belum tahu bagaimana rokok bisa merusak organ tubuh mereka. Mereka hanya tahu bahwa merokok adalah sesuatu yang dapat meningkatkan nilai emosional mereka, seperti sajian iklan rokok yang tertayang di televisi, full colour dan konsepnya yang sangat menarik. Bahkan seringkali tiap tahun dalam penghargaan insan iklan (citra adipariwara), iklan-iklan rokok merajai pesta iklan tersebut. Mereka memenangi ajang tersebut dengan konsep iklannya yang entertainment dan komunikatif. Padahal penelitian menyebutkan data yang 'mengerikan' mengenai kondisi para anak-anak berseragam merah-putih, alias masih sekolah dasar mereka sudah banyak mengenal aktivitas merokok.
Kondisi ini bisa dipahami, karena 15 tahun lalu, hasil penelitian Peneumobile (1989) di Jakarta dan Surabaya sudah menunjukkan bila 17,83 persen laki-laki yang merokok telah mencoba merokok pada usia di bawah delapan tahun, 35 persen pada usia 8-11 tahun dan 47,17 persen pada usia di atas 11 tahun. Sementara para perempuan yang merokok, 29,2 persen telah memulainya ketika berusia di bawah delapan tahun, 32,36 persen pada usia 8-11 tahun dan 38,43 persen pada usia di atas 11 tahun (Media Indonesia, 12 Juni 2001).
Televisi sebagai media pembawa iklan rokok memang memiliki beberapa kelebihan dibanding media-media iklan lainnya Kata televisi berasal dari kata “tele” yang berarti jauh dan “visi” yang berarti penglihatan. Segi “jauh”-nya dilakukan dalam bentuk gambar hidup (motion picture). Para Pemirsa tidak akan mungkin menikmati siaran televisi tanpa adanya prinsip-prinsip gambar yang ditranmisikan oleh stasiun pemancar. Dengan daya unsur siaran dan gambar inilah televisi memiliki daya tarik yang kuat pada pemirsanya. Onong Uchajana Effendy menyatakan tentang daya tarik televisi ini sebagai berikut :”...Televisi mempunyai daya tarik yang kuat disebabkan oleh unsur-unsur audio yang berupa suara dan visual yang berupa gambar hidup dan menimbulkan kesan mendalam pada pemirsanya” (Effendy, 1996: 200). Televisi adalah perpaduan radio (broadcast) dan film (moving picture), para penonton di rumah-rumah tidak mungkin menangkap siaran televisi bila tidak ada unsur-unsur radio, dan tidak mungkin melihat gambar-gambar yang bergerak pada layar jika tidak ada unsur-unsur film.
Propaganda dan iklan rokok dikemas sedemikian menarik. Secara global, industri tembakau seluruh dunia mengeluarkan lebih dari US$ 8 miliar setiap tahun untuk iklan dan pemberian sponsor sebagai ajang utama promosi. iklan-iklan rokok tampil dengan citra-citra yang mencerminkan produknya, khalayak sasarannya atau perusahaannya. Ide-ide kreatif yang muncul di balik tekanan-tekanan tersebut ternyata malah membuat iklan-iklan rokok lebih sukses dalam mempengaruhi orang untuk merokok. Pendekatan emosional yang digunakan oleh pengiklan sangat cocok untuk mempengaruhi orang untuk merokok, karena kebutuhan untuk merokok juga bersifat emosional. Permasalahan menjadi kian mengkhawatirkan tatkala barang ini dari tahun ke tahun semakin mudah diakses anak-anak.
Survei yang dilakukan Universitas Padjadjaran (1978) melaporkan usia pertama kali merokok pada anak kala itu adalah 12 tahun. Sebelas tahun kemudian, penelitian Universitas Airlangga (1989) melaporkan fakta baru bahwa angka 12 itu telah bergerak ke angka delapan tahun. Terbaru, penelitian yang dilakukan bersama antara Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Padjajaran, usia anak pertama kali merokok telah menyentuh angka tujuh tahun. Di Indonesia, perusahaan rokok besar berlomba-lomba memberikan sponsor pada kegiatan olahraga, acara remaja, dan konser musik. Dalam promosinya, rokok diasosiasikan dengan keberhasilan dan kebahagiaan. Peningkatan drastis konsumsi tembakau para remaja terjadi pada 2001 yang mencapai 24,2% dari semula 13,7% pada 1995. Persentase peningkatan itu terjadi pada remaja laki-laki 15-19 tahun yang kemudian menjadi perokok tetap.
Anak-anak mempunyai jiwa serba ingin tahu dengan dorongan yang tinggi untuk mengetahui realitas, mempunyai unsur-unsur yang berbeda pula dalam “menanggapi” suatu obyek (realita), sesuai dengan faktor personal dan faktor situasional dalam diri mereka. Ketika anak-anak menonton televisi pun, mereka akan memberikan penilaian sendiri sesuai dengan faktor yang mendominasi dalam diri mereka, sesuai pengalaman yang telah diterimanya. Anak-anak masih belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menerima secara kritis pesan dan maksud dibalik iklan. Menurut CH.Buhler dalam buku “Ilmu Djiwa Kanak-Kanak”, mengungkapkan tentang anak-anak, Anak-anak pada fase keempat ( 9-13 tahun), mempunyai dorongan ingin maju, dorongan mengetahui realitas mencapai tingkatnya yang tinggi. Sang anak sekolah dibanjiri dari luar oleh berbagai macam perangsang dan peristiwa-peristiwa yang sangat mempengaruhinya. (Hamzah, 1996 : 38).

Tidak ada komentar: